Dari Mitos hingga kekhawatiran pencemaran, Warga Empat Dusun Tolak Makam di Jumput Rejo”

364

Sidoarjo//www.pilarcakrawala.news| Konflik panjang yang telah membara selama lebih dari satu dekade di Desa Jumput Rejo, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo, kembali pecah ke permukaan. Sengketa mengenai keberadaan lahan makam di Dusun Jumput Rejo Wetan yang melibatkan Yayasan Kahuripan Nirwana memuncak dalam Musyawarah Desa (Musdes) pada Jumat (8/8/2025). Suasana pertemuan yang awalnya diharapkan menjadi ruang dialog justru berubah menjadi arena perdebatan sengit, diwarnai adu argumen yang memanas.

 

Persoalan ini sejatinya bukan hal baru. Sejak tahun 2013, sebagian besar warga Desa Jumput Rejo sudah menunjukkan penolakannya terhadap rencana pembangunan dan penggunaan lahan makam tersebut. Penolakan tersebut tetap bertahan meski kepemimpinan desa telah berganti, menunjukkan bahwa ini bukan sekadar perbedaan pendapat biasa, tetapi telah menjadi persoalan prinsip yang menyentuh ranah sosial, budaya, dan bahkan kepercayaan warga setempat.

 

Kepala Desa Jumput Rejo, Widarto, yang memimpin langsung jalannya Musdes, mengakui bahwa sengketa ini telah berlangsung jauh sebelum dirinya menjabat.

 

” Dulu sebagian masyarakat sudah menolak, namun sekarang kita buka ruang dialog agar semua pihak bisa menyampaikan pandangannya,” ujarnya di hadapan ratusan peserta yang hadir.

 

Musdes kali ini benar-benar menjadi forum besar. Hadir Badan Permusyawaratan Desa (BPD), tokoh agama, tokoh masyarakat, karang taruna, serta perwakilan dari lima dusun: Beciro, Keling, Kedung, Jumput Kulon, dan Jumput Wetan.

 

Dari pihak yayasan, H. Andi selaku perwakilan resmi Yayasan Kahuripan Nirwana datang bersama tim kuasa hukum, serta sejumlah warga perumahan Kahuripan Nirwana yang merupakan korban relokasi lumpur Lapindo. Babinsa dan Bhabinkamtibmas ikut berjaga untuk memastikan jalannya musyawarah tetap aman.

 

Dalam forum, empat dusun, Beciro, Keling, Kedung, dan Jumput Kulon, secara tegas menyuarakan penolakan. Hanya Dusun Jumput Rejo Wetan yang memberikan dukungan pada keberadaan makam.

 

Warga yang menolak memiliki alasan yang beragam namun saling menguatkan:

 

Mitos setempat yang dipercaya akan membawa dampak buruk jika makam tersebut dipaksakan ada.

 

Kekhawatiran terganggunya ketenangan akibat sirene ambulans yang keluar masuk lokasi.

 

Potensi pencemaran air sungai di sekitar wilayah.

 

Perumahan di wilayah ini memang sejak awal tidak dirancang memiliki makam, karena pengaturan lahannya sudah ditetapkan di lokasi lain.

 

Pihak Yayasan Kahuripan Nirwana mencoba membuka jalan tengah dengan menawarkan kompensasi yang tidak kecil: lahan 1.000 meter persegi yang dapat digunakan warga asli maupun pendatang, serta uang senilai Rp200 juta.

 

Namun, tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh warga yang menolak, karena mereka menilai persoalan ini bukan soal uang, tetapi soal prinsip dan kenyamanan lingkungan.

 

“Mari kita lihat sisi kemanusiaan. Kami membuka ruang dialog, tapi jika sudah deadlock, kami akan melapor ke Bupati dan pejabat terkait. Izin kami lengkap dan jelas, dan sesuai peruntukan untuk makam,” tegas H. Andi di hadapan forum.

 

Ketegangan kian terasa ketika perdebatan tak kunjung menemukan titik temu. Menjelang penutupan Musdes, perwakilan dari Dusun Jumput Rejo Wetan memilih meninggalkan ruangan (walk out) sebagai bentuk protes karena merasa aspirasi mereka tidak diakomodasi.

 

Meski dijaga aparat, riak-riak emosi tak bisa sepenuhnya dibendung. Wajah tegang, nada suara yang meninggi, dan tatapan tajam mewarnai suasana pertemuan tersebut.

 

Hasil akhir Musdes tercatat jelas: empat dusun, BPD, tokoh agama, dan tokoh masyarakat sepakat menolak keberadaan lahan makam milik Yayasan Kahuripan Nirwana. Keputusan ini praktis menguatkan posisi warga penolak dan membuka kemungkinan besar konflik ini berlanjut ke jalur hukum atau memerlukan intervensi langsung dari Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.

 

Kasus ini menjadi potret nyata bahwa konflik agraria, meski skalanya lokal, tetap dapat menimbulkan perpecahan sosial yang tajam di tingkat desa. Sengketa lahan makam di Jumput Rejo tidak hanya tentang izin formal atau kompensasi finansial, tetapi menyangkut hak warga untuk menentukan masa depan ruang hidup mereka sendiri.

 

Kini, masyarakat menanti langkah lanjutan. Apakah pemerintah akan memediasi ulang, atau justru membiarkan perkara ini memasuki babak sengit di meja hijau? Yang jelas, satu hal sudah pasti: luka sosial yang timbul akibat perpecahan sikap ini tidak akan mudah disembuhkan tanpa dialog yang benar-benar jujur dan berpihak pada kepentingan bersama.( ED s )

Get real time updates directly on you device, subscribe now.