Polemik SPMB 2025 di Sidoarjo: Pemindahan Siswa Dinilai Jalan Pintas, Dispendikbud Diduga Gagal dalam Tata Kelola

152

Sidoarjo//www.pilarcakrawala.news| kelebihan siswa dalam Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 di sejumlah SD Negeri di Kabupaten Sidoarjo menjadi polemik baru dan menimbulkan kegelisahan para orang tua murid. Langkah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dispendikbud) Sidoarjo yang memindahkan sejumlah siswa ke sekolah lain dinilai tidak menyentuh akar persoalan, bahkan dianggap sebagai bentuk kegagalan manajemen pendidikan di daerah.

 

Pengamat pendidikan Nadia Bafaqih pada waktu diwawancarai awak media pilarcakrawala dengan tegas menyebut kebijakan tersebut tidak berpihak pada kepentingan anak didik. Menurutnya, pemindahan siswa bukan solusi, melainkan hanya upaya menutupi kelemahan sistem yang sejak lama dibiarkan berlarut-larut.

 

“Kebijakan pemindahan siswa hanyalah jalan pintas yang menutupi kegagalan manajemen. Pemerintah daerah seharusnya memiliki kesadaran untuk mengakui keteledoran dan meminta maaf secara terbuka atas ketidaknyamanan ini,” ujar Nadia saat di temui awak media pilarcakrawala pada Sabtu ( 23-08-2025 )

 

Nadia menekankan bahwa aspek psikologis anak hampir tak pernah dipertimbangkan dalam setiap keputusan semacam ini. Pemindahan mendadak tanpa kesiapan mental, kata dia, bisa mengganggu tumbuh kembang anak.

 

Anak-anak yang baru saja memulai jenjang pendidikan dasar harus kembali beradaptasi dengan lingkungan baru, teman baru, bahkan suasana belajar yang berbeda. Hal tersebut berisiko menimbulkan kecemasan, rasa terasing, hingga penurunan motivasi belajar.

 

“Pendidikan itu membentuk manusia, bukan sekadar mengisi kuota. Jangan sampai anak-anak menjadi korban sistem yang amburadul. Pemerintah seharusnya menyiapkan generasi bangsa dengan karpet merah, bukan malah memberi luka sejak langkah awal mereka di sekolah,” imbuh Nadia.

 

Kasus SPMB 2025, lanjut Nadia, sejatinya hanyalah gejala dari penyakit lama yang tidak pernah diobati. Persoalan kelebihan siswa, kurangnya ruang kelas, serta distribusi sekolah negeri yang tidak merata sudah berulang setiap tahun. Bedanya, tiap tahun wajah masalah ini berganti.

 

“Tahun ini murid dipindahkan secara sepihak, tahun depan bisa jadi orang tua dipaksa menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta dengan biaya lebih tinggi. Sementara kemampuan ekonomi mereka jelas terbatas,” tegasnya.

 

Fenomena tersebut, menurut Nadia, menunjukkan betapa rapuhnya perencanaan dan lemahnya tata kelola pendidikan di tingkat daerah. Ia bahkan menyebut praktik seperti ini menyerupai “kartel pendidikan” yang menggurita, di mana hak anak dan kepentingan masyarakat selalu menjadi nomor sekian dibanding hitung-hitungan administrasi.

 

Kritik keras ini menjadi alarm bagi pemerintah daerah. Jika pola lama tetap dipertahankan, masyarakat pesimistis persoalan serupa akan terulang dari tahun ke tahun, dengan selalu ada korban baru yang muncul.

 

“Dinas Pendidikan harus merombak sistem tata kelola yang buruk. Reformasi menyeluruh harus dilakukan dengan menempatkan kepentingan anak di atas segalanya. Pendidikan bukan sekadar laporan angka, tapi proses membangun manusia dan masa depan bangsa,” pungkas Nadia.

 

Polemik ini tidak hanya mengundang reaksi dari pengamat pendidikan, tetapi juga memunculkan kegelisahan di tengah masyarakat. Banyak orang tua murid menilai pemindahan anak tanpa sosialisasi yang jelas merupakan bentuk ketidakadilan. Mereka berharap ada transparansi sekaligus tanggung jawab moral dari pemerintah daerah, bukan hanya kebijakan instan yang menyisakan luka.

 

Kini bola panas ada di tangan Dispendikbud Sidoarjo. Masyarakat menanti jawaban konkret: apakah ada perbaikan serius dalam sistem penerimaan siswa baru, atau kasus ini kembali menjadi catatan kelam yang akan berulang setiap tahun.( ED s )

Get real time updates directly on you device, subscribe now.