Ramai Penetapan Tersangka Debitur Leasing, Praktisi Hukum Nilai Penegakan Hukum Harus Cermat

1,017

SIDOARJO//www.Pilarcakrawala.news|Maraknya penetapan tersangka terhadap debitur oleh pihak leasing dengan tuduhan penggelapan objek jaminan fidusia sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dan Pasal 372 KUHP menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, terutama para praktisi hukum.

Ketua Harian Yayasan Advokasi Lembaga Perlindungan Konsumen (YALPK Group), Bramada Pratama Putra, S.H., CPLA., menilai bahwa proses hukum terhadap debitur harus dilakukan secara hati-hati dan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

“Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka, penahanan, dan penggeledahan dapat diuji melalui praperadilan,” ujar Bramada.

Menurutnya, penetapan tersangka harus didasarkan pada dua alat bukti yang cukup. Jika proses hukum hanya mengandalkan laporan dari pihak kreditur tanpa disertai akta fidusia yang sah, maka penetapan tersangka dinilai tidak memenuhi syarat objektif.

Bramada menjelaskan, agar Pasal 36 UU Fidusia dapat diterapkan, harus ada perjanjian fidusia yang sah dan terdaftar. Jika akta fidusia dibuat tanpa kehadiran langsung pemberi fidusia (debitur), maka akta tersebut cacat hukum dan tidak dapat dijadikan dasar pemidanaan.Hubungan Hukum Bersifat Perdata, Bukan Pidana

Dalam kajian hukumnya, Bramada menegaskan bahwa hubungan antara debitur dan kreditur merupakan hubungan hukum perdata, yaitu perjanjian pembiayaan konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata.

“Persoalan pengalihan atau penguasaan kendaraan bermotor yang masih dalam masa kredit merupakan bentuk wanprestasi (cidera janji), bukan tindak pidana penggelapan,” tegasnya.

Ia juga mengutip Surat Edaran Kabareskrim Polri Nomor: B/2110/VIII/2009 yang menegaskan dua hal penting:

1. Laporan debitur terhadap perusahaan pembiayaan terkait penarikan unit tidak dapat diproses dengan pasal pencurian atau perampasan.u

2. Laporan perusahaan pembiayaan terhadap debitur yang mengalihkan unit tidak boleh diproses menggunakan pasal penggelapan atau tindak pidana lain.

Dengan demikian, lanjutnya, laporan dugaan penggelapan objek fidusia seharusnya diselesaikan secara perdata atau melalui mediasi konsumen, bukan jalur pidana.

Dugaan Cacat Formil Akta Fidusia

Lebih lanjut, Bramada mengungkap adanya dugaan cacat formil dalam pembuatan sejumlah akta jaminan fidusia. Ia menilai beberapa akta dibuat tanpa kehadiran langsung debitur, hanya berdasarkan surat kuasa bermuatan klausula baku, yang bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).

Selain itu, ditemukan indikasi perbedaan data uang muka (down payment) antara kontrak pembiayaan dan nilai pembayaran yang sebenarnya dilakukan oleh konsumen.

“Hal ini menunjukkan bahwa debitur adalah pihak konsumen yang beritikad baik, bukan pelaku kejahatan sebagaimana dituduhkan,” terang Bramada.

Imbauan untuk Lembaga Keuangan dan Konsumen

Bramada mengingatkan lembaga pembiayaan agar selalu menghormati hak-hak konsumen dan memastikan seluruh proses pembuatan akta fidusia dilakukan secara sah dan transparan.

Sebagai bentuk edukasi hukum kepada masyarakat, ia berpesan:

Berhati-hatilah dalam mengajukan kredit.

Pastikan pihak pembiayaan melakukan verifikasi dan menghadirkan debitur saat akta fidusia dibuat.(Nic)

Get real time updates directly on you device, subscribe now.