Sidoarjo~www.pilarcakrawala.news|Praktik penjualan buku “modul” Lembar Kerja Siswa (LKS) di SDN 2 Kalitengah Tanggulangin Kabupaten Sidoarjo tengah menjadi sorotan publik setelah mencuatnya pemberitaan di sejumlah media online. Dugaan bahwa buku tersebut dijual kepada siswa melalui kesepakatan paguyuban wali murid memicu beragam reaksi, termasuk kritik keras dari berbagai pihak yang menilai ada ketidakberesan dalam proses pengadaannya.
Kepala SDN 2 Kalitengah sebelumnya menyatakan bahwa penjualan “modul” tersebut merupakan inisiatif paguyuban wali murid di tingkat kelas, bukan keputusan sekolah secara langsung. Namun, pernyataan ini justru memicu pertanyaan lebih dalam terkait keterlibatan pihak sekolah dalam pengadaan dan distribusi modul tersebut.
Ketua Umum Java Corruption Watch (JCW), Sigit Imam Basuki, ST, menyoroti dugaan praktik ini dengan tajam. Ia menilai perubahan istilah dari “Lembar Kerja Siswa” (LKS) menjadi “modul” adalah langkah manipulatif yang diduga untuk menghindari sorotan publik dan regulasi.
“Saya menyampaikan hal ini secara umum, baik Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama diseluruh Kabupaten Sidoarjo bukan hanya yang terjadi di SDN Kalitengah 2 saja, juga sekolah lainnya,
Kalimatnya saja sekarang diganti, bukan lagi LKS, tapi modul. Jadi, kalau ditanya soal LKS, jawabannya tidak ada, karena sudah diganti istilahnya menjadi modul. Ini indikasi mengelabuhi (menyesatkan),” ujar Sigit kepada media melalui pesan whatapp pada Minggu (11/01/2025)
Lebih jauh, Sigit mengungkapkan bahwa ada indikasi kerja sama antara pihak sekolah dan penerbit dalam pengadaan modul ini. Meskipun penjualan tidak dilakukan secara langsung di lingkungan sekolah, ia menduga ada persetujuan atau keterlibatan kepala sekolah dalam proses tersebut. “Modul ini diatasnamakan paguyuban, tetapi pengadaannya sudah pasti melalui persetujuan pihak sekolah. Kalau tidak ada kerja sama, bagaimana buku itu bisa digunakan secara resmi di sekolah tersebut?” tambahnya.
Sigit juga menyoroti potensi keuntungan yang didapatkan oleh pihak-pihak terkait dari penjualan modul ini. “Praktik semacam ini rawan terjadi karena adanya keuntungan finansial bagi kedua belah pihak, baik penerbit maupun sekolah. Orang tua murid yang menjadi korban, karena mereka harus membeli buku yang seharusnya tidak wajib ada,” tegasnya.
Selain itu, ia mengkritik bahwa pengadaan buku seperti ini bertentangan dengan semangat pendidikan yang seharusnya mengutamakan transparansi dan akuntabilitas. “Sekolah adalah lembaga pendidikan, bukan tempat transaksi bisnis. Jika ada kerja sama semacam ini, maka harus ada dasar hukum yang jelas, bukan hanya berdasarkan kesepakatan sepihak paguyuban,” pungkas Sigit.
Kasus ini memicu keprihatinan di kalangan orang tua murid dan masyarakat luas. Banyak yang mempertanyakan bagaimana buku-buku tersebut bisa masuk ke sekolah tanpa pengawasan atau regulasi yang ketat. Mereka juga meminta pemerintah daerah, khususnya dinas pendidikan, untuk segera turun tangan menyelidiki dugaan ini.
“Sebagai orang tua murid, saya merasa terbebani. Tidak ada penjelasan rinci dari sekolah soal kenapa buku ini harus dibeli. Kalau memang wajib, seharusnya ada mekanisme resmi, bukan melalui jalur paguyuban,” ujar salah satu wali murid yang enggan disebutkan namanya.
Hingga saat ini, pihak sekolah dan dinas pendidikan terkait belum memberikan keterangan resmi mengenai kasus ini. JCW menegaskan akan terus memantau perkembangan dan mendesak aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran yang terjadi.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan dalam sistem pendidikan, terutama dalam pengadaan buku atau perlengkapan belajar lainnya. Masyarakat berharap ada transparansi dan keadilan, sehingga lembaga pendidikan dapat fokus pada peningkatan kualitas belajar mengajar tanpa membebani siswa dan orang tua dengan praktik-praktik yang tidak sesuai aturan.(ED s)